DUA bencana besar menimpa Indonesia secara berturut-turut. Pertama adalah gempa bumi berdampak tsunami yang menyapu habis Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kedua, letusan Gunung Merapi di Yogyakarta yang meminta korban jiwa yang juga tidak kalah besarnya.
Gempa bumi berdampak tsunami di Kepulauan Mentawai baru kita ketahui akibatnya sehari setelah bencana terjadi. Ketika gempa bumi pertama kali terjadi, pusat dan kekuatan gempa memang berhasil dideteksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMG). Bahkan kemudian peringatan terhadap kemungkinan datangnya tsunami segera disampaikan kepada masyarakat.
Kita ikuti dari pemberitaan bagaimana penduduk di Padang sempat meninggalkan daerah pantai karena khawatir akan ancaman tsunami. Gempa dengan kekuatan 7,2 skala Richter memang tidak bisa dianggap kecil, karena goncangannya terasa sampai ke Singapura.
Namun BMG kemudian mengumumkan bahwa ancaman tsunami itu berakhir. Kekhawatiran tsunami tidak terjadi. Memang untuk wilayah Padang tidak ada gelombang tinggi yang menyapu habis daerah pantai.
Kita baru tahu keesokan harinya ketika ada kabar dari Kepulauan Mentawai bahwa telah terjadi bencana tsunami. Gelombang laut yang mencapai ketinggian 12 meter dan masuk hingga 600 meter ke arah daratan menyapu semua yang kemudian dilewati. Sampai hari Rabu tercatat 128 orang meninggal dunia dan lebih dari 400 warga dinyatakan hilang.
Belum lagi hilang kepedihan kita atas bencana tsunami yang harus dialami saudara kita yang tinggal di Kepulauan Mentawai, kemarin sore kita dihadapkan pada kenyataan lain, yakni meletusnya Gunung Merapi. Aktivitas yang terus meningkat dari gunung tersebut, mencapai puncak ketika Gunung Merapi meletus untuk melepaskan energi yang disimpannya.
Awan panas yang dilepaskan tanpa ampun merusak seluruh benda yang terlewati, termasuk sejumlah warga yang tidak mau meninggalkan kawasan berbahaya. Sampai hari Rabu tercatat 25 orang warga meninggal dunia karena terpaan awan panas.
Ketika bencana alam terjadi, tantangan yang kita hadapi bagaimana mengurangi penderitaan masyarakat yang terkena korban. Kepada yang meninggal dunia, tentunya kita harus memakamkannya secara baik. Namun tantangan yang lebih berat adalah bagaimana menangani mereka yang selamat dari bencana.
Dengan harta benda yang habis karena bencana, maka kita harus memberikan modal bagi mereka untuk bisa bertahan hidup. Mereka bukan hanya membutuhkan naungan dan pakaian, tetapi mereka butuh modal untuk melanjutkan perjalanan hidup mereka.
Tanggung jawab untuk itu pertama-tama tentunya berada di tangan pemerintah. Pemerintah harus memastikan bahwa penderitaan masyarakat tidak berlanjut pascabencana. Bahkan pemerintah harus bisa membangunkan kembali harapan dari para korban yang selamat.
Pada tempatnya apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memercepat kunjungan kenegaraan dan segera kembali ke Tanah Air. Segala persoalan internasional menjadi kalah berarti ketika bencana besar terjadi di Tanah Air.
Dua bencana besar yang terjadi hampir bersamaan membawa duka yang luar biasa kepada masyarakat. Presiden sepantasnya berada dekat dengan rakyatnya yang sedang menderita, agar harapannya kembali bangkit.
Gerakan dari pemerintah dan juga Presiden tentunya akan menarik masyarakat untuk turut menyingsingkan lengan baju membantu mereka yang sedang menderita. Masyarakat kita selama ini menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi, mereka langsung turun tangan untuk membantu ketika ada saudara mereka yang menderita.
Bantuan masyarakat tidak harus dalam materi. Bantuan tenaga dan dukungan moral tidak kalah pentingnya untuk memulihkan kepercayaan diri para korban. Gerakan "Pray for Indonesia" atau "Doa untuk Indonesia" misalnya, merupakan bentuk kepedulian yang luar biasa.
Duka yang kita alami sebagai bangsa sungguh luar biasa beratnya. Namun kita tidak mungkin hanya bisa larut dalam kedukaan, tetapi harus bangkit untuk melanjutkan hidup ini. Kita harus berusaha sambil berdoa bagi kehidupan yang lebih baik bagi bangsa ini.
Sumber : google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar