Merapi terus meletus. Seiring tanah bergetar, sang gunung memuntahkan material vulkanik ke udara. Asap membubung tinggi, lalu jatuh ke mana angin membawa.
Di Yogyakarta Jumat (5/11) pagi ini, warga menyambut pagi yang gelap dan kelabu. Kota itu, juga berbagai wilayah di sekitar Merapi, diselimuti abu. Penduduk harus beraktivitas dengan masker, agar material silika tak terhirup ke paru-paru yang bisa terganggu karenanya.
Semua jadwal di bandara Adi Sutjipto dibatalkan demi keselamatan penerbangan. Di Bandung, sejumlah penduduk melaporkan hujan abu yang dikaitkan dengan Merapi.
Relawan terus berdatangan membantu pengungsi Merapi. Di berbagai sudut negeri, orang-orang mengulurkan tangan. Di berbagai jejaring, kepedulian terbentuk...
Gunung Merapi memuntahkan material vulkanik, terlihat dari Klaten, Kamis (4/11). (AP Photo/Irwin Fedriansyah)
Masyarakat melakukan aktivitas menggunakan masker saat melintas di Jalan Pangeran Diponegoro, Yogyakarta, Jumat (5/11). Erupsi Gunung Merapi yang kembali terjadi pada Kamis (5/11) mengeluarkan debu vulkanik yang menyelimuti Kota Yogyakarta, sehingga masyarakat diimbau menggunakan masker saat melakukan aktivitas di luar ruangan untuk mengantisipasi gangguan kesehatan akibat debu vulkanik. (Foto ANTARAWahyu Putro A)
Seorang anak berjalan di antara pohon yang tumbang di jalan lingkar Muntilan, Jawa Tengah, Jumat (5/11). Banyak pohon tumbang di beberapa wilayah Muntilan akibat hujan abu vulkanik dari Gunung Merapi. (Foto ANTARA/Wihdan Hidayat)
Sumber : yahoo
Sabtu, 06 November 2010
iPad Generasi Kedua Segera Hadir?
MENURUT informasi dari pemasok komponen elektronik yang dihubungi Brian White, seorang analis Wall Street dari Ticonderoga Securities, Apple baru saja 'menelurkan' generasi iPad kedua dengan layar 7 inci.
Tampaknya tepat setahun peluncuran iPad generasi pertama, Apple ingin segera melakukan penyegaran pada produk unggulannya ini.
Diperoleh informasi, iPad terbaru ini dilengkapi dengan kamera dan beberapa fitur iPhone 4 dan Retina Display serta memori hingga 128GB, dua kali lipat dari kapasitas memori tertinggi iPad generasi pertama.
Perlu diketahui, Retina Display sejauh ini hanya dihadirkan pada dua perangkat Apple yaitu iPhone 4, dan iPod touch generasi keempat.
Saat ini, iPad tidak mendukung peripheral USB, namun di generasi teranyarnya, iPad akan dilengkapi dengan "micro or mini" USB. Namun, sementara ini koneksi masih melalui dock 30-pin (dua Dock Connectors) yang memiliki keterbatasan melakukan add-on pada satu waktu.
Perangkat terbaru besutan Apple yang ditengarai berdesain rata di belakang ini rencananya akan memulai produksinya pada kuartal pertama tahun 2011. Kita tunggu saja kehadirannya di Indonesia.
Sumber : Suara Merdeka
Cara Mengatasi Inflasi Menurut Pendapat Saya
inflasi menyebabkan perubahan yang sangat luas terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Jika dihubungkan dengan keadaan sekarang tentunya dengan mudah Anda mendapatkan gejala-gejala negatif dari inflasi yang paling sederhana, harga-harga naik secara menyeluruh. pakah Anda merasakan dampak tersebut?
Inflasi tentunya harus diatasi dan untuk mengatasinya dapat dilakukan pemerintah dengan cara melakukan beberapa kebijakan yang menyangkut bidang moneter, fiskal dan non moneter. Adapun penjelasan kebijakan tersebut akan diuraikan di bawah ini:
a.Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dengan cara mengubah jumlah uang yang beredar. Penyebab inflasi diantara jumlah uang yang beredar terlalu banyak sehingga dengan kebijakan ini diharapkan jumlah uang yang beredar dapat dikurangi menuju kondisi normal. Untuk menjalankan kebijakan ini Bank Indonesia menjalankan beberapa politik/kebijakan yaitu politik diskonto, politik pasar terbuka dan menaikan cash ratio.
b.Kebijakan Fiska adalah kebijakan yang berhubugan dengan finansial pemerintah.
c.Kebijakan Non-Moneter dapat dilakukan dengan cara menaikan hasil produksi, kebijakan upah dan pengawasan harga dan distribusi barang.
Inflasi tentunya harus diatasi dan untuk mengatasinya dapat dilakukan pemerintah dengan cara melakukan beberapa kebijakan yang menyangkut bidang moneter, fiskal dan non moneter. Adapun penjelasan kebijakan tersebut akan diuraikan di bawah ini:
a.Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dengan cara mengubah jumlah uang yang beredar. Penyebab inflasi diantara jumlah uang yang beredar terlalu banyak sehingga dengan kebijakan ini diharapkan jumlah uang yang beredar dapat dikurangi menuju kondisi normal. Untuk menjalankan kebijakan ini Bank Indonesia menjalankan beberapa politik/kebijakan yaitu politik diskonto, politik pasar terbuka dan menaikan cash ratio.
b.Kebijakan Fiska adalah kebijakan yang berhubugan dengan finansial pemerintah.
c.Kebijakan Non-Moneter dapat dilakukan dengan cara menaikan hasil produksi, kebijakan upah dan pengawasan harga dan distribusi barang.
Apakah Inflasi Itu?
inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang.[1] Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Sumber : wikipedia
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Sumber : wikipedia
Tingkat Inflasi Indonesia Masih Tertinggi
JAKARTA--Tingkat inflasi Indonesia selalu berada di atas negara-negara lain. Malaysia 5 persen, Filipina 6 persen, Thailand 1 persen sementara secara historis, inflasi Indonesia rata-rata mencapai 8-9 persen. Ke depan, inflasi Indonesia di akhir 2010 akan mencapai 6,3 persen, tekanan inflasi tersebut meningkat khususnya pada komponen adminestered price.
Hal ini akan mengakibatkan peningkatan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) kembali mengalami kenaikan pada kuartal II-2010. Bahkan diproyeksikan, nantinya BI Rate akan mencapai 7,25 persen. Demikian disampaikan oleh kepala ekonom Mandiri Sekuritas, Destri Damayanti dalam Outlook Ekonomi Indonesia 2010 di Plaza Mandiri, Selasa (15/12).
Peningkatan tekanan terhadap inflasi tersebut, kata dia, utamanya pada komponen adminestered price yakni dilihat dari faktor primer seperti naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) hingga 20-25persen untuk industri dan sektor tertentu. Selain listrik, Gas Elpiji juga akan kembali mengalami kenaikan di 2010. "Kedua faktor ini akan membuat tingkat inflasi naik mencapai 6,3 persen di akhir tahun 2010 (full year)," papar Destri.
Ia mengatakan, kenaikan TDL dan Elpiji tersebut diperkirakan baru akan terjadi di kuartal II-2009 maka suku bunga acuan (BI Rate) diperkirakan paling cepat mengalami peningkatan di kuartal tersebut. Tekanan lain berasal dari faktor eksternal, lanjut Destry, yang akan membuat inflasi meningkat yakni potensi kenaikan harga komoditas global yang didorong oleh perbaikan permintaan global dan pelemahan nilai mata uang dollar AS.
Selain itu, kata dia, secara historis apabila harga keekonomisan BBM mencapai 100 persen diatas harga BBM subsidi maka pemerintah akan melakukan penyesuaian BBM domestik. "Naiknya harga BBM juga meningkatkan inflasi di 2010," tambahnya.
Meningkatnya harga minyak secara berkelanjutan, menyebabkan rata-rata harga minyak berada di atas asumsi pemerintah 65 dolar AS per barel. Menurut Destry, asumsi harga minyak dunia berada di 74 - 75 dolar AS per barelnya.
Maka, kata dia, hal ini akan mendorong pemerintah untuk melakukam penyesuaian harga minyak domestik, sehingga dapat memicu inflasi ke double digit level. Selain itu, kata dia, meningkatnya tekanan inflasi tersebut utamanya disebabkan gangguan pada sistem distribusi dan adanya bottle neck pada sisi supply karena relatif buruknya infrastruktur.
"Inflasi kita juga tak smooth, naik turun terus dengan ekstrim, ini juga yang membuat pertumbuhan ekonomi tak optimal," kata dia menjelaskan. Lambatnya realisasi pembangunan inbfrastruktur (khususnya energi dan transportasi), kata Destry, mengganggu distribusi arus barang dan menghambat peningkatan produksi nasional.
Ia mengakui, memang tak ada data seberapa pengaruh kenaikan inflasi dari lemahnya infrastruktur kita. Namun, kata dia, ada beberapa komponen dalam infrastruktur yang sangat berpengaruj ke inflasi. Salah satunya yakni transportasi, yang kontribusi pengaruhnya ke inflasi mencapai 15 persen.
Selain itu energi, jika dilihat per item, kontribusi sektor energi ke inflasi mencapai 7 persen. Hal tersebutlah, katanya, yang memberi dampak pada inflasi. Terus melajunya inflasi tersebut, katanya, akan mengakibatkan kenaikan suku bunga lagi.
Untuk pemecahannya, kata dia, mungkin yang perlu dicari adalah akar permasalahan."Kita tahu infrastruktur kita bermasalah. Itu menyebabkan harga itu cepat sekali berubah, apalagi di luar daerah," katanya. Sementara Bank Indonesia, kata dia, meskipun memiliki target inflasi, namun hanya melakukan pengontrolan inflasi diluar adminester price.
Hal seperti itulah, kata dia,yang mengakibatkan real intereset rate menjadi rendah." Kalau bunga tak dinaikkan, yang terjadi adalah nominal real interest rate yang tak naik," kata dia. Namun, menurutnya, kita bisa mengambil contoh dari negara lain. Contohnya di India.
Saat ekspektasi inflasi terlihat naik, India kemudian meningkatkan Giro Wajib Minimum (GWM). Jadi, katanya, kemampuan bank untuk memberikan lending berkurang, hal itu dilakukan dalam rangka menjaga uang ke luar. Maka sistemnya dapat bermacam-macam, katanya, bisa dengan menerbitkan surat berharga atau mengatur GWM. Tak harus selalu meningkatkan suku bunga.
Sumber : google.com
Inflasi Semakin Terdorong Meninggi
Dipekirakan oleh Darmin Nasution laju inflasi pada tahun mendatang akan terus meningkat, hal imni akibat dari adanya penyesuaian terhadap administered prices. Dia juga menghimbau agar BI berusaha untuk menjaga laju inflasi tersebut, denga cara menjaga agar uang tidak terlalu beredar luas.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution memperkirakan laju inflasi tahun depan akan meningkat karena dorongan inflasi mulai meninggi dalam beberapa tahun terakhir akibat penyesuaian terhadap administered prices.
“Dorongan inflasi mulai meninggi dalam beberapa tahun terakhir karena administered prices (harga yang ditetapkan pemerintah) relatif tinggi,” ujarnya saat penyampaian jawaban pemerintah atas kondisi asumsi makroekonomi RAPBN 2011 dengan komisi XI DPR di Jakarta, Senin (20/9/2010) malam.
Harga yang ditetapkan pemerintah yang dimaksud antara lain faktor tarif dasar listrik, tarif tol, dan sektor jasa lainnya.
Untuk itu, ia menambahkan, BI sebagai badan moneter tetap berusaha menjaga laju inflasi dengan mengusahakan uang beredar tidak terlalu banyak hingga mengubah kebijakan dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM). “Kita mengurangi likuiditas agar tidak berlebihan di pasar dan tidak mendorong inflasi,” ujar Darmin.
Selain itu, BI juga tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) tetap berada di angka 6,5 persen.
Ia juga mengatakan agar pemerintah terus mewaspadai inflasi yang disebabkan oleh persediaan barang (volatile foods) yang bermasalah akibat perubahan iklim dan musim. “Harga cabe dan bawang sempat meningkat, harga internasional terigu, beras, dan palm oil juga meningkat akibat musim dan ini di,luar kendali siapa pun,” ujar Darmin.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statisitik (BPS) Rusman Heriawan menambahkan, laju inflasi sebesar 2,78 persen pada tahun 2008 sulit dicapai kembali karena angka inflasi tersebut terbantu oleh adanya krisis global. “Angka tersebut sulit dicapai lagi karena waktu itu ada krisis,” ujarnya.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir, apabila pertumbuhan ekonomi ditargetkan di atas enam persen, laju inflasi tidak mencapai angka di bawah lima persen. “Jadi, kalau kita menargetkan pertumbuhan 6,3 persen, itu merupakan klasifikasi optimistis, apalagi tahun 2011 negara-negara dunia mulai memperbaiki ekonominya dan kecenderungan harga komoditas naik,” ujar Rusman.
Pemerintah dalam RAPBN 2011 menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, nilai tukar Rp 9.300 per dollar AS, inflasi 5,3 persen, suku bunga SBI tiga bulan 6,5 persen, harga minyak 80 dollar AS per barrel, dan lifting 0,970 juta liter per hari.
Sumber : Kompas.com
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution memperkirakan laju inflasi tahun depan akan meningkat karena dorongan inflasi mulai meninggi dalam beberapa tahun terakhir akibat penyesuaian terhadap administered prices.
“Dorongan inflasi mulai meninggi dalam beberapa tahun terakhir karena administered prices (harga yang ditetapkan pemerintah) relatif tinggi,” ujarnya saat penyampaian jawaban pemerintah atas kondisi asumsi makroekonomi RAPBN 2011 dengan komisi XI DPR di Jakarta, Senin (20/9/2010) malam.
Harga yang ditetapkan pemerintah yang dimaksud antara lain faktor tarif dasar listrik, tarif tol, dan sektor jasa lainnya.
Untuk itu, ia menambahkan, BI sebagai badan moneter tetap berusaha menjaga laju inflasi dengan mengusahakan uang beredar tidak terlalu banyak hingga mengubah kebijakan dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM). “Kita mengurangi likuiditas agar tidak berlebihan di pasar dan tidak mendorong inflasi,” ujar Darmin.
Selain itu, BI juga tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) tetap berada di angka 6,5 persen.
Ia juga mengatakan agar pemerintah terus mewaspadai inflasi yang disebabkan oleh persediaan barang (volatile foods) yang bermasalah akibat perubahan iklim dan musim. “Harga cabe dan bawang sempat meningkat, harga internasional terigu, beras, dan palm oil juga meningkat akibat musim dan ini di,luar kendali siapa pun,” ujar Darmin.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statisitik (BPS) Rusman Heriawan menambahkan, laju inflasi sebesar 2,78 persen pada tahun 2008 sulit dicapai kembali karena angka inflasi tersebut terbantu oleh adanya krisis global. “Angka tersebut sulit dicapai lagi karena waktu itu ada krisis,” ujarnya.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir, apabila pertumbuhan ekonomi ditargetkan di atas enam persen, laju inflasi tidak mencapai angka di bawah lima persen. “Jadi, kalau kita menargetkan pertumbuhan 6,3 persen, itu merupakan klasifikasi optimistis, apalagi tahun 2011 negara-negara dunia mulai memperbaiki ekonominya dan kecenderungan harga komoditas naik,” ujar Rusman.
Pemerintah dalam RAPBN 2011 menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, nilai tukar Rp 9.300 per dollar AS, inflasi 5,3 persen, suku bunga SBI tiga bulan 6,5 persen, harga minyak 80 dollar AS per barrel, dan lifting 0,970 juta liter per hari.
Sumber : Kompas.com
Bagaimana Indonesia Menjinakan Inflasi?
Saat ini yang menjadi PR pemerintah adalah bagaimana caranya agar Inflasi tidak berangsur naik, pengalaman beberapa tahun yang lampau menunjukan pemerintah gagal menjinakan inflansi.
Inflasi mulai merangkak naik, dipicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Inflasi bulanan pada Juni lalu mencapai 0,97 persen, naik menjadi 1,57 persen pada Juli 2010. Laju inflasi Januari-Juli 2010 mencapai 4,02 persen dan inflasi year on year sebesar 6,22 persen.
Target inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen berpotensi terlampaui karena inflasi Agustus dan September diperkirakan masih akan tinggi. Selain karena bulan puasa, tingkat inflasi Agustus akan disumbang dampak langsung kenaikan tarif dasar listrik industri sebesar 10-15 persen.
Adapun inflasi September didorong oleh bulan puasa dan Idul Fitri. Untuk mencapai sasaran inflasi sebesar 5,3 persen,pemerintah masih memiliki ruang manuver sebesar 1,3 persen.
Artinya, selama lima bulan ke depan rata-rata inflasi bulanan harus tidak lebih dari 0,2 persen. Amat muskil inflasi Agustus dan September 2010 bisa ditekan menjadi 0,2 persen. Pada September 2009, inflasi menembus 1,02 persen karena bulan puasa dan Idul Fitri. Setelah itu terjadi deflasi karena konsumsi menurun.
Masalahnya, ruang gerak 1,3 persen itu amat sempit dan tidak banyak menyisakan pilihan bagi pemerintah.Apabila pemerintah gagal mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, inflasi pasti terlampaui.
Pengalaman puluhan tahun menunjukkan, pemerintah gagal menjinakkan inflasi lantaran didorong oleh kegagalan mengendalikan harga kebutuhan pokok.
Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Sebaliknya, respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc, dan fragmentaris.
Semua itu tak lebih sebagai pemadam kebakaran.Tak terhitung energi, waktu, dan biaya yang terkuras akibat instabilitas harga kebutuhan pokok.
Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi halhal rutin yang mestinya bisa diselesaikan. Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok ini akan mengekspos mereka pada posisi yang amat rentan. Pendapatan rakyat yang tidak seberapa akan tergerus oleh inflasi.
Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan harus merealokasi keranjang belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran.
Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan.Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun.
Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang?
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan mencapai 50,62 persen pada 2009.
Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka akan anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai “perampok uang rakyat”. Kondisi semacam ini bukan khas Indonesia.
Hampir di semua negara berkembang pangsa pengeluaran pangan keluarga memang masih dominan. Ketika harga kebutuhan pokok naik,kemiskinan pun melonjak. Inflasi di Indonesia tergolong masih tinggi, rata-rata di atas lima persen.
Memang, inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen. Namun, pada tahun yang sama banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain,target inflasi tahun ini pun tergolong masih tinggi.
Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di negara-negara maju seperti Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan di bawah tiga persen. Bahkan, Jepang sering mengalami deflasi. Ini semua ditopang kebijakan yang komprehensif dan kredibel.
Kita bisa ambil contoh Malaysia. Saat ini, ketika Indonesia gonjang-ganjing oleh harga kebutuhan pokok, Malaysia tidak mengalaminya.
Ini terjadi karena Malaysia bisa mengendalikan harga kebutuhan pokok lebih baik daripada Indonesia. Malaysia memiliki undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang- barang yang kebanyakan adalah barang-barang makanan sejak 1946.
Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku pada 1961. Undang- undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan seperti gandum.
Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-hari warga masyarakat dan 25 komoditas dikontrol pada festive season (hari besar). Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional.
Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan, bahkan di bawah lima persen. Padahal, inflasi di Indonesia pada 2005 mencapai 17,11 persen dan pada 2008 mencapai 11,06 persen.
Malaysia cukup berhasil menjaga stabilitas harga sehingga inflasi rendah, apa pun yang terjadi di pasar internasional (Adiningsih,2010).
Berpijak dari kondisi itu, langkah-langkah Bank Indonesia untuk menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung upaya pemerintah dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok. Di masa lalu, negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok lewat Bulog.
Wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa saja dilakukan. Namun, itu tidak banyak artinya apabila tidak didukung dengan pendanaan memadai dan instrumen yang komprehensif.
Pertama, harus segera ditentukan komoditas kebutuhan pokok yang memiliki pengaruh besar terhadap pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4–5 komoditas. Ini pun sifatnya dinamis.
Komoditas inilah yang menjadi opsi stabilisasi. Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/ floor price), stok atau cadangan, dana murah, pengendalian eksporimpor hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin sistem distribusi lancar dan tidak ada pelaku dominan di pasar yang bisa mengeksploitasi keadaan. Dengan ketiga langkah simultan tersebut, hampir bisa dipastikan inflasi akan bisa dijinakkan
Inflasi mulai merangkak naik, dipicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Inflasi bulanan pada Juni lalu mencapai 0,97 persen, naik menjadi 1,57 persen pada Juli 2010. Laju inflasi Januari-Juli 2010 mencapai 4,02 persen dan inflasi year on year sebesar 6,22 persen.
Target inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen berpotensi terlampaui karena inflasi Agustus dan September diperkirakan masih akan tinggi. Selain karena bulan puasa, tingkat inflasi Agustus akan disumbang dampak langsung kenaikan tarif dasar listrik industri sebesar 10-15 persen.
Adapun inflasi September didorong oleh bulan puasa dan Idul Fitri. Untuk mencapai sasaran inflasi sebesar 5,3 persen,pemerintah masih memiliki ruang manuver sebesar 1,3 persen.
Artinya, selama lima bulan ke depan rata-rata inflasi bulanan harus tidak lebih dari 0,2 persen. Amat muskil inflasi Agustus dan September 2010 bisa ditekan menjadi 0,2 persen. Pada September 2009, inflasi menembus 1,02 persen karena bulan puasa dan Idul Fitri. Setelah itu terjadi deflasi karena konsumsi menurun.
Masalahnya, ruang gerak 1,3 persen itu amat sempit dan tidak banyak menyisakan pilihan bagi pemerintah.Apabila pemerintah gagal mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, inflasi pasti terlampaui.
Pengalaman puluhan tahun menunjukkan, pemerintah gagal menjinakkan inflasi lantaran didorong oleh kegagalan mengendalikan harga kebutuhan pokok.
Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Sebaliknya, respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc, dan fragmentaris.
Semua itu tak lebih sebagai pemadam kebakaran.Tak terhitung energi, waktu, dan biaya yang terkuras akibat instabilitas harga kebutuhan pokok.
Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi halhal rutin yang mestinya bisa diselesaikan. Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok ini akan mengekspos mereka pada posisi yang amat rentan. Pendapatan rakyat yang tidak seberapa akan tergerus oleh inflasi.
Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan harus merealokasi keranjang belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran.
Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan.Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun.
Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang?
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan mencapai 50,62 persen pada 2009.
Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka akan anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai “perampok uang rakyat”. Kondisi semacam ini bukan khas Indonesia.
Hampir di semua negara berkembang pangsa pengeluaran pangan keluarga memang masih dominan. Ketika harga kebutuhan pokok naik,kemiskinan pun melonjak. Inflasi di Indonesia tergolong masih tinggi, rata-rata di atas lima persen.
Memang, inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen. Namun, pada tahun yang sama banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain,target inflasi tahun ini pun tergolong masih tinggi.
Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di negara-negara maju seperti Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan di bawah tiga persen. Bahkan, Jepang sering mengalami deflasi. Ini semua ditopang kebijakan yang komprehensif dan kredibel.
Kita bisa ambil contoh Malaysia. Saat ini, ketika Indonesia gonjang-ganjing oleh harga kebutuhan pokok, Malaysia tidak mengalaminya.
Ini terjadi karena Malaysia bisa mengendalikan harga kebutuhan pokok lebih baik daripada Indonesia. Malaysia memiliki undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang- barang yang kebanyakan adalah barang-barang makanan sejak 1946.
Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku pada 1961. Undang- undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan seperti gandum.
Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-hari warga masyarakat dan 25 komoditas dikontrol pada festive season (hari besar). Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional.
Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan, bahkan di bawah lima persen. Padahal, inflasi di Indonesia pada 2005 mencapai 17,11 persen dan pada 2008 mencapai 11,06 persen.
Malaysia cukup berhasil menjaga stabilitas harga sehingga inflasi rendah, apa pun yang terjadi di pasar internasional (Adiningsih,2010).
Berpijak dari kondisi itu, langkah-langkah Bank Indonesia untuk menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung upaya pemerintah dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok. Di masa lalu, negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok lewat Bulog.
Wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa saja dilakukan. Namun, itu tidak banyak artinya apabila tidak didukung dengan pendanaan memadai dan instrumen yang komprehensif.
Pertama, harus segera ditentukan komoditas kebutuhan pokok yang memiliki pengaruh besar terhadap pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4–5 komoditas. Ini pun sifatnya dinamis.
Komoditas inilah yang menjadi opsi stabilisasi. Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/ floor price), stok atau cadangan, dana murah, pengendalian eksporimpor hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin sistem distribusi lancar dan tidak ada pelaku dominan di pasar yang bisa mengeksploitasi keadaan. Dengan ketiga langkah simultan tersebut, hampir bisa dipastikan inflasi akan bisa dijinakkan
Tingkat Inflasi di Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang, inflasi yang tinggi sangat mungkin terjadi. Menurut sejarah, Indonesia pernah mengalami inflasi yang mencapai 600% pada tahun ‘60-an. Pada waktu itu inflasi diakibatkan dari kondisi politik yang tidak menentu, di samping jumlah uang beredar terlalu banyak. Sejak tahun 2008 tingkat inflasi Indonesia mulai menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi Indonesia sepanjang tahun 2009 mencapai 2,78% jauh di bawah target. Persentase ini merupakan persentase terendah sejak tahun 1999. Tingkat inflasi yang rendah sepanjang tahun 2009 disebabkan oleh terjadinya deflasi pada barang-barang yang harganya ditetapkan oleh pemerintah, seperti bahan bakar minyak dan listrik.
Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah juga membantu menahan tingkat inflasi, terutama yang disebabkan oleh inflasi barang-barang impor. Tingkat inflasi di Indonesia memang telah mengalami penurunan yang cukup berarti. Namun, pada Mei 2010 tingkat inflasinya naik berkisar 4,16 % dan Bank Dunia memperkirakan inflasi Indonesia pada tahun depan akan mencapai 5,4 %. Hal itu menandakan Indonesia masih harus berjaga – jaga apabila terjadi kenaikan lagi.
Sumber : google.com
Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah juga membantu menahan tingkat inflasi, terutama yang disebabkan oleh inflasi barang-barang impor. Tingkat inflasi di Indonesia memang telah mengalami penurunan yang cukup berarti. Namun, pada Mei 2010 tingkat inflasinya naik berkisar 4,16 % dan Bank Dunia memperkirakan inflasi Indonesia pada tahun depan akan mencapai 5,4 %. Hal itu menandakan Indonesia masih harus berjaga – jaga apabila terjadi kenaikan lagi.
Sumber : google.com
Mengendalikan Tingkat Inflasi di Indonesia
Awal pekan ini BPS mengumumkan inflasi pada Oktober 2010 sebesar 0,06%. Dari sasaran survei 66 kota di Tanah Air, 32 di antaranya mengalami inflasi dan 34 deflasi. Oktober sebenarnya mendekati deflasi, tetapi ada beberapa faktor yang memicu inflasi, terutama kenaikan harga beras 0,74% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Beras menyumbang inflasi 0,04%. Kalau turun sedikit, barangkali yang terjadi deflasi. Kenaikan harga emas dunia juga menyebabkan harga dalam negeri naik 6,47% sehingga menyumbang inflasi sebesar 0,13%.
Meskipun Oktober tergolong rendah, laju inflasi year to date atau dari Januari sampai Oktober sudah mencapai 5,35%. Padahal pemerintah dalam APBN Perubahan menargetkan angka inflasi tahun ini sebesar 5,3%. Agar target itu tercapai, dalam sisa dua bulan ke depan harus deflasi; tetapi tampaknya hal tersebut sulit terjadi. Apabila November dan Desember inflasi, target yang telah dipatok akan terlampaui. Namun, ada keyakinan laju 2010 secara keseluruhan tidak akan menembus angka 6%. Masih ada ruang 0,65% dua bulan ke depan supaya tak menembus angka itu.
Kecenderungan inflasi pada November dan Desember tahun-tahun sebelumnya rendah, meskipun ada Hari Raya Natal dan Tahun Baru yang dapat mendorong tingkat inflasi. Dampak Lebaran lebih dahsyat dibandingkan dengan hari raya keagamaan lainnya, karena terkait dengan komposisi penganut agama Islam yang lebih besar. Pada saat Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri bisa dipastikan hampir seluruh warga terlibat dalam rangkaian aktivitasnya, mulai belanja sampai mudik. Peningkatan aktivitas, terutama ekonomi berlangsung sebulan lebih sejak Puasa.
Hari raya keagamaan pada Desember memang memengaruhi inflasi, tetapi tidak sehebat saat Lebaran. Tahun lalu, November tercatat deflasi sebesar 0,03% dan Desember inflasi 0,33%. Tahun 2008, November inflasi 0,12% dan Desember deflasi 0,04%. Belajar dari pengalaman itu, diperkirakan dua bulan terakhir pada pengujung tahun nanti tidak terjadi inflasi besar. Supaya tingkat tidak menembus angka 6%, perlu dijaga agar inflasi pada November dan Desember tidak sampai 0,65%. Untuk itu dibutuhkan kerja keras dan strategi setepat-tepatnya.
Beberapa ekonom menilai tingkat inflasi Januari sampai Oktober 2010 sebesar 5,35% masih tergolong aman. Sebab, inflasi tahunan Oktober 2010 terhadap Oktober 2009 sebesar 5,67% masih lebih rendah ketimbang inflasi tahunan September 2010 terhadap September 2009 yang mencapai 5,8%. Berdasarkan target inflasi Bank Indonesia pada angka 5% plus minus 1%, hingga akhir tahun ini ada optimisme akan berada di bawah 6%. Maka ada yang menyarankan agar bank sentral menaikkan suku bunga sebelum akhir tahun, sehingga target tercapai.
Inflasi tinggi perlu dicegah, karena akan meningkatkan ongkos dalam jangka panjang. Inflasi yang sangat cepat juga menciptakan ketidakpastian serta mendistorsi keputusan untuk melakukan konsumsi dan investasi. Di samping itu, secara langsung berdampak pada daya beli, khususnya pada masyarakat berpenghasilan tetap. Menurunnya daya beli akan memengaruhi banyak lini, yang intinya menyebabkan kelesuan ekonomi. Tak mengherankan pemerintah dan bank sentral mengupayakan berbagai cara dan mengotak-atik banyak instrumen supaya tingkat inflasi tidak tinggi.
Sumber : google.com
Meskipun Oktober tergolong rendah, laju inflasi year to date atau dari Januari sampai Oktober sudah mencapai 5,35%. Padahal pemerintah dalam APBN Perubahan menargetkan angka inflasi tahun ini sebesar 5,3%. Agar target itu tercapai, dalam sisa dua bulan ke depan harus deflasi; tetapi tampaknya hal tersebut sulit terjadi. Apabila November dan Desember inflasi, target yang telah dipatok akan terlampaui. Namun, ada keyakinan laju 2010 secara keseluruhan tidak akan menembus angka 6%. Masih ada ruang 0,65% dua bulan ke depan supaya tak menembus angka itu.
Kecenderungan inflasi pada November dan Desember tahun-tahun sebelumnya rendah, meskipun ada Hari Raya Natal dan Tahun Baru yang dapat mendorong tingkat inflasi. Dampak Lebaran lebih dahsyat dibandingkan dengan hari raya keagamaan lainnya, karena terkait dengan komposisi penganut agama Islam yang lebih besar. Pada saat Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri bisa dipastikan hampir seluruh warga terlibat dalam rangkaian aktivitasnya, mulai belanja sampai mudik. Peningkatan aktivitas, terutama ekonomi berlangsung sebulan lebih sejak Puasa.
Hari raya keagamaan pada Desember memang memengaruhi inflasi, tetapi tidak sehebat saat Lebaran. Tahun lalu, November tercatat deflasi sebesar 0,03% dan Desember inflasi 0,33%. Tahun 2008, November inflasi 0,12% dan Desember deflasi 0,04%. Belajar dari pengalaman itu, diperkirakan dua bulan terakhir pada pengujung tahun nanti tidak terjadi inflasi besar. Supaya tingkat tidak menembus angka 6%, perlu dijaga agar inflasi pada November dan Desember tidak sampai 0,65%. Untuk itu dibutuhkan kerja keras dan strategi setepat-tepatnya.
Beberapa ekonom menilai tingkat inflasi Januari sampai Oktober 2010 sebesar 5,35% masih tergolong aman. Sebab, inflasi tahunan Oktober 2010 terhadap Oktober 2009 sebesar 5,67% masih lebih rendah ketimbang inflasi tahunan September 2010 terhadap September 2009 yang mencapai 5,8%. Berdasarkan target inflasi Bank Indonesia pada angka 5% plus minus 1%, hingga akhir tahun ini ada optimisme akan berada di bawah 6%. Maka ada yang menyarankan agar bank sentral menaikkan suku bunga sebelum akhir tahun, sehingga target tercapai.
Inflasi tinggi perlu dicegah, karena akan meningkatkan ongkos dalam jangka panjang. Inflasi yang sangat cepat juga menciptakan ketidakpastian serta mendistorsi keputusan untuk melakukan konsumsi dan investasi. Di samping itu, secara langsung berdampak pada daya beli, khususnya pada masyarakat berpenghasilan tetap. Menurunnya daya beli akan memengaruhi banyak lini, yang intinya menyebabkan kelesuan ekonomi. Tak mengherankan pemerintah dan bank sentral mengupayakan berbagai cara dan mengotak-atik banyak instrumen supaya tingkat inflasi tidak tinggi.
Sumber : google.com
Langganan:
Postingan (Atom)