Kamis, 09 Mei 2013

Tragedi Perbudakan di Tangerang

34 buruh disekap, dipaksa bekerja 18 jam, tidak mandi sampai empat bulan, dan tidak digaji?! Fakta memilukan itu dilaporkan dari sebuah pabrik alat penggorengan dan panci atau kuali aluminium di Tange¬rang. Dua buruh yang mengalami nasib mengenaskan di pabrik di Kampung Bayur Opak, Cadas, Tiga¬raksa, Tangerang, Banten itu melaporkan kasus ”perbudakan” tersebut ke Komnas Hak Asasi Manusia pada 2 Mei lalu. Hanya satu kata: sebagai sesama anak bangsa kita patut tersinggung dan marah. Kita menyimpulkan, apa pun latar belakangnya, inilah perilaku pemikiran perbudakan di zaman mo¬dern, ketika nilai-nilai HAM mestinya dijunjung tinggi untuk mengedepan di semua sisi kehidupan. Bagaimana mungkin ada perusahaan, didukung oleh orang-orang yang menjadi bagian dari otoritas perusahaan tersebut, menciptakan sistem dan proses untuk memperlakukan manusia tidak selayaknya manusia? Berdalih apa pun, pemerintah telah kecolongan oleh skandal perbudakan tersebut. Penggerebekan oleh aparat kepolisian menemukan praktik perburuhan selama 1,5 tahun yang tidak pada tempatnya. Sistem pengawasan, deteksi normatif dan substansial bagi penyelenggaraan usaha dan proses-prosesnya, selama ini luput dari awasan badan-badan terkait. Bagaimanapun, pemerintah telah lengah mengawasi dan mengawal penyelenggaraan usaha oleh sebuah perusahaan atau pabrik. Kita melihat sikap yang lebih luas oleh pengelola pabrik, bukan sekadar persoalan eksploitasi tenaga kerja, namun telah menjangkau titik sensitif kehidupan manusia. Lebih dari ma¬salah hubungan kerja, inilah fakta menyakitkan: ada manusia dan se¬kelompok manusia menganggap manusia yang lain bisa diperlakukan dengan cara apa pun sesuai dengan kemauannya. Titik sensitif ini menyimpulkan kesewenang-wenangan terhadap harkat dan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Praktik ”perbudakan” memang masih sering ditemukan lewat kasus-kasus ketenagakerjaan, terutama yang dialami oleh sejumlah tenaga kerja wanita kita di mancanegara dalam berbagai bentuknya. Tafsir ini kita kemukakan untuk mengidentifikasi kenyataan betapa perlindungan tenaga kerja tidak cukup hanya dengan hak-hak normatif di dalam aturan-aturan ketenagakerjaan. Da-lam praktik, selalu muncul pemosisian tenaga kerja kita yang mewujud sebagai kelemahan bargaining. ”Perbudakan” massal dengan pola yang tampak tersistemisasi seperti kasus di Tangerang itu mesti membuka mata semua anak bangsa, bahwa masih ada manusia-manusia yang merasa superior dengan me¬lakukan perendahan martabat ke¬manusiaan terhadap manusia yang lain. Bagaimana penegakan hukum menjangkau untuk memancarkan rasa keadilan, menjadi tantangan untuk membuka dan menuntaskan tragedi kemanusiaan ini. Ya, kita butuh efek penjeraan yang kuat. Sumber : www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar