Sabtu, 06 November 2010

Bagaimana Indonesia Menjinakan Inflasi?

Saat ini yang menjadi PR pemerintah adalah bagaimana caranya agar Inflasi tidak berangsur naik, pengalaman beberapa tahun yang lampau menunjukan pemerintah gagal menjinakan inflansi.

Inflasi mulai merangkak naik, dipicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Inflasi bulanan pada Juni lalu mencapai 0,97 persen, naik menjadi 1,57 persen pada Juli 2010. Laju inflasi Januari-Juli 2010 mencapai 4,02 persen dan inflasi year on year sebesar 6,22 persen.

Target inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen berpotensi terlampaui karena inflasi Agustus dan September diperkirakan masih akan tinggi. Selain karena bulan puasa, tingkat inflasi Agustus akan disumbang dampak langsung kenaikan tarif dasar listrik industri sebesar 10-15 persen.

Adapun inflasi September didorong oleh bulan puasa dan Idul Fitri. Untuk mencapai sasaran inflasi sebesar 5,3 persen,pemerintah masih memiliki ruang manuver sebesar 1,3 persen.

Artinya, selama lima bulan ke depan rata-rata inflasi bulanan harus tidak lebih dari 0,2 persen. Amat muskil inflasi Agustus dan September 2010 bisa ditekan menjadi 0,2 persen. Pada September 2009, inflasi menembus 1,02 persen karena bulan puasa dan Idul Fitri. Setelah itu terjadi deflasi karena konsumsi menurun.

Masalahnya, ruang gerak 1,3 persen itu amat sempit dan tidak banyak menyisakan pilihan bagi pemerintah.Apabila pemerintah gagal mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, inflasi pasti terlampaui.

Pengalaman puluhan tahun menunjukkan, pemerintah gagal menjinakkan inflasi lantaran didorong oleh kegagalan mengendalikan harga kebutuhan pokok.

Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Sebaliknya, respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc, dan fragmentaris.

Semua itu tak lebih sebagai pemadam kebakaran.Tak terhitung energi, waktu, dan biaya yang terkuras akibat instabilitas harga kebutuhan pokok.

Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi halhal rutin yang mestinya bisa diselesaikan. Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok ini akan mengekspos mereka pada posisi yang amat rentan. Pendapatan rakyat yang tidak seberapa akan tergerus oleh inflasi.

Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan harus merealokasi keranjang belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran.

Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan.Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun.

Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang?

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan mencapai 50,62 persen pada 2009.

Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka akan anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai “perampok uang rakyat”. Kondisi semacam ini bukan khas Indonesia.

Hampir di semua negara berkembang pangsa pengeluaran pangan keluarga memang masih dominan. Ketika harga kebutuhan pokok naik,kemiskinan pun melonjak. Inflasi di Indonesia tergolong masih tinggi, rata-rata di atas lima persen.

Memang, inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen. Namun, pada tahun yang sama banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain,target inflasi tahun ini pun tergolong masih tinggi.

Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di negara-negara maju seperti Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan di bawah tiga persen. Bahkan, Jepang sering mengalami deflasi. Ini semua ditopang kebijakan yang komprehensif dan kredibel.

Kita bisa ambil contoh Malaysia. Saat ini, ketika Indonesia gonjang-ganjing oleh harga kebutuhan pokok, Malaysia tidak mengalaminya.

Ini terjadi karena Malaysia bisa mengendalikan harga kebutuhan pokok lebih baik daripada Indonesia. Malaysia memiliki undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang- barang yang kebanyakan adalah barang-barang makanan sejak 1946.

Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku pada 1961. Undang- undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan seperti gandum.

Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-hari warga masyarakat dan 25 komoditas dikontrol pada festive season (hari besar). Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional.

Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan, bahkan di bawah lima persen. Padahal, inflasi di Indonesia pada 2005 mencapai 17,11 persen dan pada 2008 mencapai 11,06 persen.

Malaysia cukup berhasil menjaga stabilitas harga sehingga inflasi rendah, apa pun yang terjadi di pasar internasional (Adiningsih,2010).

Berpijak dari kondisi itu, langkah-langkah Bank Indonesia untuk menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung upaya pemerintah dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok. Di masa lalu, negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok lewat Bulog.

Wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa saja dilakukan. Namun, itu tidak banyak artinya apabila tidak didukung dengan pendanaan memadai dan instrumen yang komprehensif.

Pertama, harus segera ditentukan komoditas kebutuhan pokok yang memiliki pengaruh besar terhadap pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4–5 komoditas. Ini pun sifatnya dinamis.

Komoditas inilah yang menjadi opsi stabilisasi. Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/ floor price), stok atau cadangan, dana murah, pengendalian eksporimpor hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin sistem distribusi lancar dan tidak ada pelaku dominan di pasar yang bisa mengeksploitasi keadaan. Dengan ketiga langkah simultan tersebut, hampir bisa dipastikan inflasi akan bisa dijinakkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar