Sabtu, 06 November 2010
Tingkat Inflasi Indonesia Masih Tertinggi
JAKARTA--Tingkat inflasi Indonesia selalu berada di atas negara-negara lain. Malaysia 5 persen, Filipina 6 persen, Thailand 1 persen sementara secara historis, inflasi Indonesia rata-rata mencapai 8-9 persen. Ke depan, inflasi Indonesia di akhir 2010 akan mencapai 6,3 persen, tekanan inflasi tersebut meningkat khususnya pada komponen adminestered price.
Hal ini akan mengakibatkan peningkatan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) kembali mengalami kenaikan pada kuartal II-2010. Bahkan diproyeksikan, nantinya BI Rate akan mencapai 7,25 persen. Demikian disampaikan oleh kepala ekonom Mandiri Sekuritas, Destri Damayanti dalam Outlook Ekonomi Indonesia 2010 di Plaza Mandiri, Selasa (15/12).
Peningkatan tekanan terhadap inflasi tersebut, kata dia, utamanya pada komponen adminestered price yakni dilihat dari faktor primer seperti naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) hingga 20-25persen untuk industri dan sektor tertentu. Selain listrik, Gas Elpiji juga akan kembali mengalami kenaikan di 2010. "Kedua faktor ini akan membuat tingkat inflasi naik mencapai 6,3 persen di akhir tahun 2010 (full year)," papar Destri.
Ia mengatakan, kenaikan TDL dan Elpiji tersebut diperkirakan baru akan terjadi di kuartal II-2009 maka suku bunga acuan (BI Rate) diperkirakan paling cepat mengalami peningkatan di kuartal tersebut. Tekanan lain berasal dari faktor eksternal, lanjut Destry, yang akan membuat inflasi meningkat yakni potensi kenaikan harga komoditas global yang didorong oleh perbaikan permintaan global dan pelemahan nilai mata uang dollar AS.
Selain itu, kata dia, secara historis apabila harga keekonomisan BBM mencapai 100 persen diatas harga BBM subsidi maka pemerintah akan melakukan penyesuaian BBM domestik. "Naiknya harga BBM juga meningkatkan inflasi di 2010," tambahnya.
Meningkatnya harga minyak secara berkelanjutan, menyebabkan rata-rata harga minyak berada di atas asumsi pemerintah 65 dolar AS per barel. Menurut Destry, asumsi harga minyak dunia berada di 74 - 75 dolar AS per barelnya.
Maka, kata dia, hal ini akan mendorong pemerintah untuk melakukam penyesuaian harga minyak domestik, sehingga dapat memicu inflasi ke double digit level. Selain itu, kata dia, meningkatnya tekanan inflasi tersebut utamanya disebabkan gangguan pada sistem distribusi dan adanya bottle neck pada sisi supply karena relatif buruknya infrastruktur.
"Inflasi kita juga tak smooth, naik turun terus dengan ekstrim, ini juga yang membuat pertumbuhan ekonomi tak optimal," kata dia menjelaskan. Lambatnya realisasi pembangunan inbfrastruktur (khususnya energi dan transportasi), kata Destry, mengganggu distribusi arus barang dan menghambat peningkatan produksi nasional.
Ia mengakui, memang tak ada data seberapa pengaruh kenaikan inflasi dari lemahnya infrastruktur kita. Namun, kata dia, ada beberapa komponen dalam infrastruktur yang sangat berpengaruj ke inflasi. Salah satunya yakni transportasi, yang kontribusi pengaruhnya ke inflasi mencapai 15 persen.
Selain itu energi, jika dilihat per item, kontribusi sektor energi ke inflasi mencapai 7 persen. Hal tersebutlah, katanya, yang memberi dampak pada inflasi. Terus melajunya inflasi tersebut, katanya, akan mengakibatkan kenaikan suku bunga lagi.
Untuk pemecahannya, kata dia, mungkin yang perlu dicari adalah akar permasalahan."Kita tahu infrastruktur kita bermasalah. Itu menyebabkan harga itu cepat sekali berubah, apalagi di luar daerah," katanya. Sementara Bank Indonesia, kata dia, meskipun memiliki target inflasi, namun hanya melakukan pengontrolan inflasi diluar adminester price.
Hal seperti itulah, kata dia,yang mengakibatkan real intereset rate menjadi rendah." Kalau bunga tak dinaikkan, yang terjadi adalah nominal real interest rate yang tak naik," kata dia. Namun, menurutnya, kita bisa mengambil contoh dari negara lain. Contohnya di India.
Saat ekspektasi inflasi terlihat naik, India kemudian meningkatkan Giro Wajib Minimum (GWM). Jadi, katanya, kemampuan bank untuk memberikan lending berkurang, hal itu dilakukan dalam rangka menjaga uang ke luar. Maka sistemnya dapat bermacam-macam, katanya, bisa dengan menerbitkan surat berharga atau mengatur GWM. Tak harus selalu meningkatkan suku bunga.
Sumber : google.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar